Tuesday, February 23, 2010

Menuju Era Baru Pengelolaan Wakaf Aceh


By: Fahmi M. Nasir 

Baru-baru ini ada dua peristiwa besar yang bisa kita jadikan sebagai momentum baru pengelolaan wakaf di Aceh. Pertama, kasus saling klaim kepemilikan Blang Padang oleh Pemda Aceh dan Kodam Iskandar Muda. Padahal menurut M. Adli Abdullah yang mengutip fakta sejarah yang ditulis oleh Van Langen, Blang Padang ini merupakan tanah wakaf milik Mesjid Raya Baiturrahman. Saya rasa kasus Blang Padang ini merupakan fenomena gunung es kaburnya status dan beralihnya kepemilikan harta wakaf di Aceh. Kedua, pencanangan Gerakan Nasional Wakaf Uang oleh Presiden Indonesia pada 8 Januari 2010 di Jakarta sebagai upaya untuk mendorong perkembangan dan pengelolaan wakaf di Indonesia yang kemudian diharapkan menjadi salah satu solusi untuk mengentaskan kemiskinan dan mewujudkan kesejahteraan ummat.

Kedua peristiwa di atas saya rasa merupakan sebuah kesempatan emas yang harus kita manfaatkan untuk menghidupkan kembali budaya wakaf sekaligus melakukan pembenahan terhadap institusi wakaf di Aceh. Ada beberapa langkah strategis yang harus diambil sebagai terobosan dalam merevitalisasi lembaga wakaf di Aceh yang selama ini bisa kita katakan lumpuh tidak berdaya.

Friday, February 12, 2010

Mengenal Wakaf Habib Bugak Asyi (Baitul Asyi Mekah)


Penulis: Dr. Alyasa’ Abubakar.
Available at Buletin Narit Geutanyo, Jilid 3 No. 6/2009

Dalam musim haji tahun 2002 Syeikh Abdul Ghani Mahmud Asyi menyerahkan foto copy Penetapan Mahkamah Mekah tentang Ikrar Wakaf Habib Bugak Asyi kepada Gubernur Aceh Abdullah Puteh. Naskah aslinya kini disimpan beliau selaku Nazhir di Mahkamah Mekah.

Dalam penetapan Mahkamah Mekah ini disebutkan bahwa salah seorang hartawan dan dermawan Aceh, bernama Habib Bugak Asyi (seorang Habib yang berasal dari kampung Bugak negeri Aceh) telah datang ke hadapan Hakim Mahkamah Syariah Mekah pada tanggal 18 Rabiul Akhir tahun 1224 H. Di depan hakim dia menyatakan keinginannya untuk mewakafkan sepetak tanah dengan sebuah rumah dua tingkat di atasnya dengan syarat; rumah tersebut dijadikan tempat tinggal jemaah haji asal Aceh yang datang ke Mekah untuk menunaikan haji dan juga tempat tinggal orang asal Aceh yang menetap di Mekah; sekiranya kerana sesuatu sebab tidak ada lagi orang Aceh yang datang ke Mekah untuk naik haji maka rumah wakaf ini digunakan untuk tempat tinggal para pelajar (santri, mahasiswa) “Jawi” (istilah yang waktu itu digunakan untuk menyebut Wilayah Asia Tenggara) yang belajar di Mekah. Sekiranya kerana sesuatu sebab mahasiswa Asia Tenggara pun tidak ada lagi yang belajar di Mekah maka rumah wakaf ini digunakan untuk tempat tinggal mahasiswa Mekah yang belajar di Masjid Haram, sekiranya mereka ini pun tidak ada juga maka wakaf ini diserahkan kepada Imam Masjid Haram untuk membiayai keperluan Masjid Haram.

Mengenai nazir, Habib Bugak menunjuk Syeikh Muhamad Shalih bin Abdussalam Asyi, warga asal Aceh yang sudah menetap di Mekah.