Thursday, December 31, 2009

Menggagas terbentuknya BAWA (Badan Wakaf Aceh)


By: Fahmi M. Nasir

Baru-baru ini saya membaca sebuah tulisan yang menyebutkan wakaf merupakan salah satu institusi Islam yang mempunyai peranan yang sangat penting dalam membangun kekuatan sosio-ekonomi umat pada masa silam. Beberapa sektor dalam masyarakat Islam seperti pendidikan, kesehatan, kemaslahatan masyarakat, konservasi alam dan riset dibiayai oleh hasil pendapatan dari investasi aset wakaf. Tulisan tersebut menyebutkan bahwa tatkala Kepulauan Sisilia berada di bawah pemerintahan Islam, ia mempunyai 300 sekolah dasar yang dibangun dan dibiayai dengan hasil investasi wakaf.

Hasil investasi wakaf juga digunakan untuk membiayai anggaran mendirikan dan mengelola sekolah-sekolah dan universitas-universitas di kota-kota besar seperti Damaskus, Baghdad, Kairo dan lain-lain. Di antara universitas-universitas besar yang pernah dibiayai dari hasil wakaf ialah Universitas Al-Azhar di Kairo, Universitas Al-Qurawiyin di kota Fez dan Universitas Al- Nizamiyah di Baghdad. 
Dalam aspek yang lain, lembaga wakaf dapat membantu memberantas kemiskinan, menyediakan lapangan kerja dan membantu negara dalam mengurangkan beban anggaran belanja pelayanan umum. Dr. Mohammad Boudjellal dalam makalahnya “Revival of the Sunnah of Waqf in Muslim Countries and Communities: Justification and Conditions of Success” menyebutkan bahwa pemerintah modern terpaksa bergantung pada sektor ketiga dalam menanggulangi isu-isu sosio-ekonomi dan lembaga wakaflah sebagai institusi yang paling tepat untuk memikul tanggungjawab tersebut.
Kondisi wakaf di Aceh
Artikel tersebut menggugah saya untuk melihat bagaimana peranan yang dimainkan oleh wakaf di Aceh pada masa lalu. Setelah melakukan penelusuran ke beberapa sumber, saya menemukan sebuah fakta yang sangat menarik mengenai lembaga wakaf di Aceh dalam buku “Hukum Perwakafan di Indonesia” yang ditulis oleh Suparman Usman.
Dalam buku tersebut disebutkan bahwa Kerajaan Aceh Darussalam yang didirikan sejak tahun 916 H telah mempunyai Undang-Undang Dasar yang bernama “Kanun Meukuta Alam” atau “Kanun Al-Asyi”. Di antara lembaga pemerintah yang termaktub dalam Kanun Meukuta Alam tersebut, terdapat sebuah lembaga yang bernama Balai Meusara. Balai ini bertugas mengelola segala ikhwal yang berhubungan dengan wakaf.
Meusara yang berarti wakaf memegang peranan yang penting dalam Kerajaan Aceh Darussalam, ia memberi corak yang menentukan dalam beberapa segi kehidupan sosial, karena demikian banyaknya tanah-tanah Meusara yang dimiliki pribadi atau lembaga-lembaga sosial.
Yang mewakafkan benda-benda wakaf tersebut adalah Kerajaan atau Hulubalang ataupun orang-orang kaya. Sedangkan yang menerima atau memanfaatkan harta wakaf yaitu pribadi-pribadi orang Islam, kelompok-kelompok tertentu dari orang Islam, lembaga-lembaga sosial, lembaga pendidikan atau masyarakat pada umumnya.
Meusara/wakaf di Aceh pada masa itu betul-betul dikelola dengan baik dan merupakan sistem yang integral dari sistem pemerintahan seluruhnya. Karena perhatian Kerajaan sangat besar pada masalah meusara, maka lembaga-lembaga sosial/pendidikan baik yang bernama Dayah (Zawiyah/lembaga swasta) ataupun yang berpusat pada mesjid-mesjid mempunyai meusara yang banyak sehingga lebih dari cukup untuk membiayai kehidupan lembaga tersebut. Bahkan Balai Pendidikan Tinggi di Kerajaan Aceh Darussalam yaitu “Jami’ Baiturrahman” yang terletak di ibukota Kerajaan Aceh Darussalam, sering juga disebut dengan “al-Azhar” mini karena mempunyai meusara yang amat banyak.
Fakta-fakta di atas membuat saya lama merenung sambil membandingkannya dengan kondisi wakaf di Aceh saat ini. Tidak usah jauh-jauh, saya mencoba melihat kondisi wakaf yang berupa kebun kelapa yang ada di kampung saya sendiri. Ternyata kondisi wakaf di kampung saya betul-betul menyedihkan. Jangankan untuk membiayai lembaga pendidikan ataupun sektor yang lain, untuk membiayai dirinya sendiri saja tidak mampu. Yang lebih tragis lagi untuk ongkos tukang panjat kelapa saja mesti ditambah dengan dana dari pos yang lain.
Saya yakin kondisi yang sama juga dialami oleh tanah wakaf yang lain di Aceh. Tanah wakaf di Aceh saat ini berdasarkan data yang ada pada Departemen Agama Republik Indonesia luasnya adalah 71,383,711 M2 di 21,737 lokasi di seluruh Aceh. Ironis memang jika aset wakaf yang sebesar itu tidak memberikan kontribusi apa-apa kepada ummat.
Masa depan Wakaf Aceh
Terlepas dari kondisi yang menyedihkan yang dialami oleh wakaf di Aceh saat ini, sebenarnya wakaf di Aceh menyimpan potensi yang besar untuk memainkan peranan penting dalam masalah sosio-ekonomi masyarakat Aceh. Potensi besar ini wakaf ini harus bisa kita manfaatkan untuk mengatasi berbagai masalah baik kemiskinan, minimnya infrastruktur, rendahnya kualitas pendidikan, belum optimalnya pelayanan kesehatan serta masalah-masalah yang lain. Hanya saja diperlukan sebuah upaya yang komprehensif dan sungguh-sungguh untuk itu.
Caranya bagaimana? Tidak ada salahnya kita melihat pengalaman wakaf di Kuwait sebagai salah satu negara yang pengelolaan wakafnya sangat berhasil. Pemerintah Kuwait pada tahun 1993 membentuk Kuwait Awqaf Public Foundation (KAPF) untuk mendorong perkembangan wakaf dan mempromosikan perbaikan ekonomi dan sosial-kemasyarakatan serta meringankan orang miskin dari berbagai kesulitan yang dialaminya. KAPF melakukan berbagai upaya untuk mewujudkan manajemen wakaf yang efektif. Dari segi pemanfaatan, KAPF menggunakan wakaf untuk pelayanan publik, mengembangkan sosio-ekonomi komunitas, terutama di daerah yang kurang maju. Hasilnya bisa kita lihat dari beberapa proyek wakaf yang telah berjalan dengan sukses seperti proyek industri skala kecil dan menengah serta proyek untuk studi mengenai perkembangan Islam.
Di Indonesia sendiri, pemerintah pada tahun 2007 telah membentuk Badan Wakaf Indonesia (BWI) untuk mengembangkan wakaf seoptimal mungkin dan mampu mewujudkan potensi dan manfaat ekonomi harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan pemberdayaan masyarakat. Walaupun kehadirannya sudah terlambat, namun BWI telah mulai menunjukkan tren positif dalam menjalankan tugasnya.
Sebelumnya sudah banyak lembaga wakaf yang berupaya mengembangkan wakaf di Indonesia. Kita tentu sudah tidak asing lagi dengan Badan Wakaf Universitas Islam Indonesia, Badan Wakaf Pondok Modern Gontor, Tabung Wakaf Indonesia (TWI), Lembaga Wakaf Zakat Salman, dan Pos Keadilan Peduli Ummat (PKPU). Kesemua lembaga ini telah banyak memberikan kontribusi bagi pengembangan dan pemberdayaan wakaf.
Namun sayang sekali, perkembangan wakaf di provinsi lain di Indonesia ternyata belum menyentuh wakaf di Aceh. Selama ini pengelolaan wakaf di Aceh hampir tidak terdengar kabarnya. Wewenang pengelolaan wakaf di Aceh saat ini ada di bawah Baitul Mal. Namun dalam realitasnya, Baitul Mal lebih terfokus pada pengumpulan dan pemberdayaan zakat sehingga perkembangan wakaf masih belum tersentuh.
Tidak ada gunanya kita menuding jari dan mencari-cari karena kesalahan siapa hal ini terjadi. Lebih baik kita menatap ke depan untuk membangun dan memberdayakan wakaf di Aceh supaya bisa memainkan peranan yang sentral dalam menangani berbagai persoalan kronis yang dihadapi masyarakat Aceh.
Oleh karena itu, saya mengusulkan supaya segera dibentuk Badan Wakaf Aceh (BAWA) yang khusus mengelola dan mengembangkan wakaf. Hal ini perlu dilakukan agar nantinya wakaf bisa memberikan kontribusi dalam kegiatan-kegiatan sosio-ekonomi masyarakat seperti halnya peranan yang telah dimainkan wakaf sepanjang sejarah baik di negara lain maupun seperti yang telah ditunjukkan masyarakat Aceh pada masa Kerajaan Aceh Darussalam. Bagaimana bentuk, struktur, strategi dan cara kerja BAWA tentu akan dapat dengan mudah kita tentukan mengingat sudah banyak contoh-contoh lembaga wakaf yang berhasil seperti KAPF, BWI dan badan-badan wakaf lainnya. Insya Allah kehadiran BAWA akan membawa wakaf Aceh kembali ke masa kegemilangannya.

Artikel ini telah dimuat di www.acehinstitute.org pada hari Selasa, 29 Desember 2009.


No comments:

Post a Comment