Friday, October 8, 2010

Hanya Jauhari Yang Mengenal Manikam

Hari ini, Jum'at 8 Oktober 2010, saya menunaikan shalat Jum'at di Mesjid Wilayah Persekutuan, Kuala Lumpur. Kebetulan saja, mesjid ini dekat dengan tempat saya sekarang sehari-hari bekerja sehingga sudah sewajarnyalah demi efektifitas dan efisiensi saya memutuskan shalat di sana. Damai dan sejuk rasanya hati ini melihat ribuan jamaah meninggalkan rutinitas harian mereka sejenak untuk menghambakan diri kepada Sang Khalik. Satu per satu hamba Allah datang ke Mesjid sehingga dalam waktu yang singkat Mesjid yang kapasitasnya mencapai 17,000 jamaah ini sudah penuh.

Pada waktu khatib naik ke mimbar untuk menyampaikan khutbah, semua jamaah dengan khusyuk mendengar uraian yang disampaikan oleh sang khatib. Sempena sambutan Bulan Bahasa Kebangsaaan, mimbar pada hari ini akan menyampaikan khutbah bertajuk 'Bahasa Wahana Perpaduan Negara', demikian Khatib memulai khutbahnya setelah terlebih dahulu membaca rukun khutbah. Khatib kemudian menceritakan bagaimana besarnya peran bahasa Melayu dalam penyebaran agama Islam di rantau Melayu.

Sampai di sini saya merasa tidak ada sesuatu yang istimewa karena selama ini kita sudah sering membaca dan mendengar hal tersebut. Kemudian khatib melanjutkan lagi dengan menyatakan bahwa kita harus menghargai perjuangan tokoh-tokoh ilmuwan dan agamawan Melayu yang tersohor yang telah mengarang dan menyebarkan pemikiran agama dengan menggunakan bahasa Melayu. Khatib lalu menyebutkan 10 nama-nama yang telah berjasa menjayakan bahasa Melayu, di sini saya tersentak ketika mendengar 4 nama yang pertama sekali disebut. Nama-nama ini sungguh tidak asing di telinga kita. Betapa tidak, nama yang disebutkan tersebut adalah Hamzah Fansuri, Nuruddin al-Raniry, Syamsuddin al-Sumaterani dan Abdurrauf As-Singkili.

Nama-nama tersebut tentunya tidak asing lagi bagi masyarakat Aceh, karena tokoh-tokoh tersebut merupakan para ilmuwan yang telah mengharumkan nama Aceh di masa lalu. Sungguh besar apresiasi yang diberikan oleh Malaysia terhadap tokoh-tokoh tersebut sehingga sampai sekarang mereka masih menjadi buah bibir dan inspirasi khususnya dalam memartabatkan bahasa Melayu. 

Tentunya kita bertanya-tanya bagaimanakah sikap orang Aceh terhadap tokoh-tokoh ini? Sejauh manakah kepedulian orang Aceh terhadap mereka? Cukupkah penghargaan itu diberikan dengan hanya menabalkan nama-nama tokoh itu sebagai nama Universitas dan nama jalan saja?  Apakah tidak ada upaya lain yang lebih elegan dan lebih bermanfaat? Tidak adakah keinginan untuk menapaktilasi kesuksesan mereka dengan menjadikan Aceh sebagai pusat kemajuan ilmu pengetahuan dan khazanah peradaban lainnya? 

Pertanyaan-pertanyaan ini dengan mudah bisa terjawab dengan hanya melihat bagaimana realitas yang ada di Aceh saat ini. Bagaimana pemimpin Aceh sekarang? Bagaimana intelektual Aceh sekarang? Bagaimana masyarakat Aceh sekarang? Marilah sama-sama kita menjawab pertanyaan tersebut dan menilai di mana posisi kita saat ini? Marilah kita jujur pada diri kita sehingga ke depan kita tidak hanya bisa menumpang kebanggaan kepada tokoh-tokoh yang sudah mengharumkan Aceh tempo dulu. 

Saya sendiri merasa sudah saatnya kita kembali menapaktilasi sejarah gemilang Aceh agar bisa menjadi inspirasi bagi kemajuan Aceh ke depan. Atau jangan-jangan kita sudah tidak lagi peduli dan tidak mengerti sama sekali bagaimana sejarah Aceh? Kalau begitu, sudah tiba waktunya kita mendedahkan secara dini sejarah Aceh kepada anak-anak kita selaku generasi penerus. Mengenal sejarah dan jati diri orang Aceh yang sesungguhnya akan memberikan implikasi yang besar bagi anak-anak muda Aceh dalam meniti kehidupan mereka di koridor yang benar dalam segala aspek kehidupan. Orang Melayu sering mengatakan "hanya jauhari saja yang mengenal manikam'. Marilah kita kembali menulis sejarah gemilang Aceh, bukan Aceh yang carut marut seperti sekarang.








Tuesday, February 23, 2010

Menuju Era Baru Pengelolaan Wakaf Aceh


By: Fahmi M. Nasir 

Baru-baru ini ada dua peristiwa besar yang bisa kita jadikan sebagai momentum baru pengelolaan wakaf di Aceh. Pertama, kasus saling klaim kepemilikan Blang Padang oleh Pemda Aceh dan Kodam Iskandar Muda. Padahal menurut M. Adli Abdullah yang mengutip fakta sejarah yang ditulis oleh Van Langen, Blang Padang ini merupakan tanah wakaf milik Mesjid Raya Baiturrahman. Saya rasa kasus Blang Padang ini merupakan fenomena gunung es kaburnya status dan beralihnya kepemilikan harta wakaf di Aceh. Kedua, pencanangan Gerakan Nasional Wakaf Uang oleh Presiden Indonesia pada 8 Januari 2010 di Jakarta sebagai upaya untuk mendorong perkembangan dan pengelolaan wakaf di Indonesia yang kemudian diharapkan menjadi salah satu solusi untuk mengentaskan kemiskinan dan mewujudkan kesejahteraan ummat.

Kedua peristiwa di atas saya rasa merupakan sebuah kesempatan emas yang harus kita manfaatkan untuk menghidupkan kembali budaya wakaf sekaligus melakukan pembenahan terhadap institusi wakaf di Aceh. Ada beberapa langkah strategis yang harus diambil sebagai terobosan dalam merevitalisasi lembaga wakaf di Aceh yang selama ini bisa kita katakan lumpuh tidak berdaya.

Friday, February 12, 2010

Mengenal Wakaf Habib Bugak Asyi (Baitul Asyi Mekah)


Penulis: Dr. Alyasa’ Abubakar.
Available at Buletin Narit Geutanyo, Jilid 3 No. 6/2009

Dalam musim haji tahun 2002 Syeikh Abdul Ghani Mahmud Asyi menyerahkan foto copy Penetapan Mahkamah Mekah tentang Ikrar Wakaf Habib Bugak Asyi kepada Gubernur Aceh Abdullah Puteh. Naskah aslinya kini disimpan beliau selaku Nazhir di Mahkamah Mekah.

Dalam penetapan Mahkamah Mekah ini disebutkan bahwa salah seorang hartawan dan dermawan Aceh, bernama Habib Bugak Asyi (seorang Habib yang berasal dari kampung Bugak negeri Aceh) telah datang ke hadapan Hakim Mahkamah Syariah Mekah pada tanggal 18 Rabiul Akhir tahun 1224 H. Di depan hakim dia menyatakan keinginannya untuk mewakafkan sepetak tanah dengan sebuah rumah dua tingkat di atasnya dengan syarat; rumah tersebut dijadikan tempat tinggal jemaah haji asal Aceh yang datang ke Mekah untuk menunaikan haji dan juga tempat tinggal orang asal Aceh yang menetap di Mekah; sekiranya kerana sesuatu sebab tidak ada lagi orang Aceh yang datang ke Mekah untuk naik haji maka rumah wakaf ini digunakan untuk tempat tinggal para pelajar (santri, mahasiswa) “Jawi” (istilah yang waktu itu digunakan untuk menyebut Wilayah Asia Tenggara) yang belajar di Mekah. Sekiranya kerana sesuatu sebab mahasiswa Asia Tenggara pun tidak ada lagi yang belajar di Mekah maka rumah wakaf ini digunakan untuk tempat tinggal mahasiswa Mekah yang belajar di Masjid Haram, sekiranya mereka ini pun tidak ada juga maka wakaf ini diserahkan kepada Imam Masjid Haram untuk membiayai keperluan Masjid Haram.

Mengenai nazir, Habib Bugak menunjuk Syeikh Muhamad Shalih bin Abdussalam Asyi, warga asal Aceh yang sudah menetap di Mekah.

Tuesday, January 26, 2010

Dilema Otomatis


By: Fahmi M. Nasir


Entah kenapa tiba-tiba saya begitu tertarik dengan kata “otomatis”. Otomatis ini memiliki dua sisi seperti halnya sekeping koin, ia bisa berarti positif dan bermanfaat bagi manusia, ia juga bisa berarti negatif dan merugikan kita semua. Otomatis adalah sebuah kata yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia mengandung arti secara otomat atau bekerja dengan sendirinya. Ketertarikan saya dengan kata otomatis ini mungkin ada hubungannya dengan seringnya saya mendengar kata tersebut terucap dalam pembicaraan bersama rekan-rekan saya beberapa hari ini.

Friday, January 15, 2010

Malaysia needs transformation of waqf management

Available at:
http://www.utusan.com.my/utusan/special.asp?pr=theMessenger&y=2009&dt=1225&pub=theMessenger&sec=Features&pg=fe_02.htm25/12/2009

Malaysia needs transformation of waqf management

By MOHAMAD SALLEH ABDULLAH

THE waqf institution should play a role in uplifting the pride, dignity and supremacy of Islam. This is not only in the spiritual and godly aspect but also other fields such as economic, politic, geo-politic, community, educational and social.

This institution must be managed professionally, with the best standard of practice and contemporary management system to project the excellence of Islam.

Ironically the western colonialism has impacted the Islamic economic system until Muslims in the world including Malaysia eventually saw the erosion in the potential and capacity of waqf in pooling the socio-economic strength and civilization of Islam.

Tuesday, January 12, 2010

IIROSA to build six endowment projects in Makkah


IIROSA to build six endowment projects in Makkah
Muhammad Al-Sulami | Arab News
Available at: http://arabnews.com/?page=1&section=0&article=131018&d=11&m=1&y=2010
 
JEDDAH: The International Islamic Relief Organization-Saudi Arabia (IIROSA) is to launch six Waqf (endowment) projects in Makkah at a cost of over SR470 million with annual returns of about SR45 million which will be used to finance the organization’s relief and development projects.

IIROSA Secretary-General Adnan Khalil Basha told a press conference on Sunday that the organization has already, through the help of a number of philanthropists, purchased the lands on which the endowments will be constructed.

Friday, January 8, 2010

Narit Geutanyo: Sebuah Upaya Menjaga Eksistensi Etnis Aceh di Malaysia


By: Fahmi M. Nasir

Keberadaan komunitas Aceh di Malaysia sangat menarik untuk ditelusuri. Mereka telah banyak memberikan kontribusi yang besar untuk pembangunan dan kemajuan Malaysia. Hal ini ditandai dengan banyaknya tokoh-tokoh keturunan Aceh yang menjadi pemimpin di berbagai institusi penting di Malaysia. Menariknya lagi, mayoritas mereka berasal dari kampung Acheh di Yan, Kedah dan sangat fasih berbahasa Aceh. Maka tidaklah heran jika hubungan antara keturunan Aceh dengan sesama mereka sangatlah erat, kental dan kukuh. Mereka senantiasa menjaga silaturrahmi dan begitu peduli dengan sesama. Silaturrahmi mereka senantiasa terjalin dengan berbagai pertemuan mulai dari acara perkawinan, acara keagamaan dan acara sosial lainnya.