Tuesday, February 23, 2010

Menuju Era Baru Pengelolaan Wakaf Aceh


By: Fahmi M. Nasir 

Baru-baru ini ada dua peristiwa besar yang bisa kita jadikan sebagai momentum baru pengelolaan wakaf di Aceh. Pertama, kasus saling klaim kepemilikan Blang Padang oleh Pemda Aceh dan Kodam Iskandar Muda. Padahal menurut M. Adli Abdullah yang mengutip fakta sejarah yang ditulis oleh Van Langen, Blang Padang ini merupakan tanah wakaf milik Mesjid Raya Baiturrahman. Saya rasa kasus Blang Padang ini merupakan fenomena gunung es kaburnya status dan beralihnya kepemilikan harta wakaf di Aceh. Kedua, pencanangan Gerakan Nasional Wakaf Uang oleh Presiden Indonesia pada 8 Januari 2010 di Jakarta sebagai upaya untuk mendorong perkembangan dan pengelolaan wakaf di Indonesia yang kemudian diharapkan menjadi salah satu solusi untuk mengentaskan kemiskinan dan mewujudkan kesejahteraan ummat.

Kedua peristiwa di atas saya rasa merupakan sebuah kesempatan emas yang harus kita manfaatkan untuk menghidupkan kembali budaya wakaf sekaligus melakukan pembenahan terhadap institusi wakaf di Aceh. Ada beberapa langkah strategis yang harus diambil sebagai terobosan dalam merevitalisasi lembaga wakaf di Aceh yang selama ini bisa kita katakan lumpuh tidak berdaya.

Langkah pertama yang perlu kita lakukan adalah melakukan survei terhadap seluruh aset wakaf di Aceh. Hal ini penting untuk mengetahui secara pasti aset-aset wakaf yang ada mengingat selama ini belum pernah dilakukan sebuah survei yang sistematis terhadap keberadaan harta wakaf di Aceh. Kita hanya bisa bertanya-tanya berapa besar potensi wakaf Aceh? Apakah mayoritas wakaf di Aceh hanya berupa mesjid, meunasah dan tanah perkuburan yang tentunya tidak memiliki potensi ekonomi yang besar? Surveilah yang akan memberikan gambaran yang jelas kepada kita tentang bentuk-bentuk aset wakaf di Aceh, nilai aset tersebut, pendapatan dari harta wakaf (kalau ada), serta potensi dan kondisi finansial aset wakaf. Survei ini pula yang akan menjadi cikal bakal pangkalan data (database) harta wakaf di Aceh. Database ini sangat krusial untuk mewujudkan efektifitas dan efesiensi pengelolaan wakaf ke depan.

Tahapan selanjutnya yang harus diambil adalah menetapkan daftar prioritas pengembangan aset wakaf berdasarkan hasil studi kelayakan. Studi kelayakan terhadap aset wakaf yang diyakini memiliki potensi untuk dikembangkan merupakan hal yang sangat penting dan esensial untuk dilakukan. Studi kelayakan akan memberikan gambaran berapa besarnya dana yang perlu diinvestasikan dalam pengembangan aset wakaf tersebut, berapa biaya operasionalnya dan berapa keuntungan yang diproyeksikan. Karena proyeksi keuntungan merupakan sesuatu yang diharapkan pada masa akan datang, maka studi kelayakan ini harus dilakukan dengan hati-hati. Lebih baik kiranya terlebih dahulu dilakukan “pra-studi kelayakan” dan baru dilakukan studi kelayakan secara penuh jika ternyata aset wakaf tersebut memiliki potensi untuk dikembangkan dan mendapatkan pemasukan. Oleh karena itu sebuah daftar prioritas pengembangan harta wakaf harus dipersiapkan dan disusun berdasarkan kemungkinan untuk memperoleh pendapatan.

Langkah yang juga sangat signifikan adalah membentuk Badan Wakaf Aceh (BAWA). Selama ini tanggung jawab untuk mengelola dan mengembangkan wakaf di Aceh ada pada Baitul Mal. Namun karena banyaknya kesibukan dan tanggung jawab lain dalam mengelola dan mengembangkan zakat, maka kita lihat Baitul Mal sepertinya tidak memiliki waktu dan kemauan yang cukup untuk mengelola dan memajukan wakaf di Aceh. Oleh karena itu lebih baik untuk memiliki lembaga yang khusus bertanggungjawab untuk mengelola dan mengembangkan wakaf Aceh.

Bentuk dan struktur BAWA bisa saja diadopsi dari Badan Wakaf Indonesia (BWI) ataupun dari lembaga wakaf lainnya yang sudah terbukti keberhasilannya. BWI misalnya, memiliki lima divisi yaitu Divisi Pembinaan Nazhir, Divisi Pengelolaan dan Pemberdayaan Wakaf, Divisi Kelembagaan, Divisi Hubungan Masyarakat dan Divisi Penelitian dan Pengembangan Wakaf. Tentunya struktur BAWA bisa disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan yang ada. Namun yang perlu diingat staf BAWA nantinya harus memiliki kapasitas dan skill yang tinggi. Staf BAWA juga haruslah diambil dari berbagai latar belakang dan keahlian yang berbeda serta terdiri dari pakar keuangan, pakar dalam bidang Syari’ah, ekonomi, hukum, manajemen, teknik dan lain-lain.

Salah satu contoh sukses pengelolaan wakaf melalui pembentukan lembaga khusus yang menangani wakaf adalah Singapura. Di negara tersebut, wewenang terhadap harta wakaf berada pada Majelis Ugama Islam Singapura (MUIS). Untuk mengelola wakaf, MUIS membuat anak perusahaan yang diberi nama WAREES (Wakaf Real Estate Singapore). WAREES kemudian menjadi perusahaan yang berupaya memaksimalkan aset wakaf. WAREES tidak hanya melakukan pembangunan aset wakaf dalam bentuk fisik, akan tetapi juga menjadi konsultan manajemen dan bisnis untuk pengembangan aset wakaf di Singapura.

Keberadaan WAREES ini meningkatkan aset wakaf di Singapura secara drastis. Dari segi kuantitas aset wakaf misalnya, hanya 6 wakaf yang terdaftar di MUIS pada tahun 1968, pada tahun 2000 tercatat 100 wakaf di seluruh Singapura. Kemudian nilai total aset wakaf Singapura ini pada akhir tahun 2006 saja tercatat sebesar S$ 250 juta atau lebih kurang sekitar Rp 1,66 triliun. Hal ini merupakan keberhasilan yang sangat menakjubkan mengingat WAREES baru beroperasi pada tahun 2001. Kesuksesan WAREES ini saya rasa bisa kita wujudkan di Aceh melalui BAWA.

Pembiayaan Wakaf

Tahapan lain yang juga sangat penting dalam pengelolaan dan pengembangan harta wakaf adalah pembiayaan. Tentunya kita bertanya darimanakah sumber keuangan untuk mengembangkan aset wakaf secara produktif? Sudah menjadi rahasia umum bahwa selama ini di Aceh jarang sekali kita lihat bank ataupun lembaga keuangan lainnya membiayai pengembangan harta wakaf. Hal ini bisa jadi karena persepsi negatif yang muncul terhadap keberadaan harta wakaf maupun karena tidak adanya satu contoh sukses pembiayaan wakaf di Aceh.

Belakangan ini seiring dengan perkembangan dan kesuksesan pengembangan wakaf di berbagai negara, kita dapati adanya berbagai macam model pembiayaan untuk mengembangkan harta wakaf baik berupa wakaf uang, musyarakah, sukuk, ijarah dan lain-lain. Banyak juga lembaga seperti IBD (Islamic Development Bank), KAPF (Kuwait Awqaf Public Foundation) yang siap mengucurkan dana untuk membiayai pengembangan harta wakaf.

Melihat kepada realitas harta wakaf di Aceh yang mayoritasnya berada dalam kondisi yang menyedihkan dan tidak produktif, serta tidak bisa memberikan kontribusi optimal untuk masyarakat, maka sudah sampai waktunya kita membuka lembaran baru pengelolaan wakaf di Aceh. Pengembangan wakaf di Aceh haruslah dilakukan dengan cara yang profesional dan melalui proses perencanaan yang matang serta implementasi yang tepat dengan kemampuan manajerial yang handal layaknya dalam bidang dunia usaha. Pengelolaan dan pengembangan harta wakaf di Aceh haruslah dapat mengoptimalkan peluang pembiayaan yang ditawarkan oleh berbagai lembaga baik dari dalam maupun luar negari. Model-model pembiayaan tersebut harus bisa kita manfaatkan dalam merevitalisasi lembaga wakaf di Aceh agar bisa menapaktilasi kejayaan wakaf Aceh di masa lalu. Jika ini bisa kita lakukan, kebangkitan kembali wakaf di Aceh hanya tinggal menunggu waktu dan dengan sendirinya lembaga wakaf akan memainkan peranan yang sangat penting dalam berbagai bidang seperti pemberdayaan ekonomi dan pengentasan kemiskinan serta pendidikan yang pada akhirnya bermuara pada terwujudnya kesejahteraan ummat.

No comments:

Post a Comment