Tuesday, January 26, 2010

Dilema Otomatis


By: Fahmi M. Nasir


Entah kenapa tiba-tiba saya begitu tertarik dengan kata “otomatis”. Otomatis ini memiliki dua sisi seperti halnya sekeping koin, ia bisa berarti positif dan bermanfaat bagi manusia, ia juga bisa berarti negatif dan merugikan kita semua. Otomatis adalah sebuah kata yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia mengandung arti secara otomat atau bekerja dengan sendirinya. Ketertarikan saya dengan kata otomatis ini mungkin ada hubungannya dengan seringnya saya mendengar kata tersebut terucap dalam pembicaraan bersama rekan-rekan saya beberapa hari ini.


Ketika kami duduk-duduk sambil menikmati hangatnya kopi di sore hari, salah seorang rekan tersebut bercerita kalau dia baru saja membeli mobil baru, mobil tersebut menggunakan transmisi otomatis atau “auto” katanya. Mobil auto lebih mudah dikendarai dibandingkan mobil yang menggunakan transmisi manual, begitu urainya pada kami semua. Otomatis dalam konteks teknologi transmisi di atas, tentunya sangat baik dan memberikan manfaat yang positif bagi supir-supir yang memiliki “mobil auto”.

 Saya hanya diam saja mendengar cerita rekan tadi. Bukan apa-apa, saya tidak bisa merasakan perbedaan mobil yang menggunakan transmisi otomatis dengan mobil yang menggunakan teknologi transmisi manual. Maklum saja, saya belum bisa mengendarai mobil dan juga belum mampu membeli mobil. Kebetulan juga tidak ada orang yang baik hati nan dermawan yang tiba-tiba mau menghadiahkan sebuah mobil untuk saya. Nasib saya agak kurang baik dibandingkan dengan beberapa teman yang tiba-tiba sudah dihadiahkan mobil mewah oleh orang yang baik hati. Mereka mengatakan pemberian tersebut adalah ikhlas dan tanpa tendensi apapun.

Saya mencoba untuk meyakinkan diri saya bahwa pemberian tersebut memang benar-benar ikhlas, namun ada teman saya yang lain yang baru saja menonton film Sang Pemimpi yang disadur dari novel karya Andrea Hirata mengatakan “tidak ada makan siang gratis kawan”, katanya menirukan dialek orang Belitong. Orang yang menghadiahkan mobil tersebut pasti mengharapkan imbalan yang bisa jadi lebih besar daripada uang yang dia keluarkan untuk membeli dan menghadiahkan mobil tadi. Bisa jadi orang yang baik hati itu cuma berpura-pura baik saja agar dia mendapatkan fasilitas, proyek atau kontrak yang bernilai miliaran rupiah dari pemerintah kalau saja orang yang dia kasih hadiah mobil itu adalah pejabat publik atau seseorang yang punya akses langsung ke pejabat publik kalau saja yang dia kasih mobil tadi adalah kerabat atau orang dekat pejabat tadi, begitu teman saya menguraikan panjang lebar kepada kami. Dengan kata lain, kalau kita berbaik hati menghadiahkan mobil kepada pejabat publik maka secara otomatis kita akan mendapatkan proyek, lanjut teman tadi. Kata otomatis dalam konteks ini tentunya tidak baik dan merugikan hajat hidup orang banyak.

Kata otomatis juga membawa saya kembali mengingat peristiwa yang terjadi pada tahun 1996 yang lalu, saat di mana saya baru saja kuliah semester pertama di Fakultas Syari’ah, IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh. Kebetulan saya terpilih menjadi salah seorang pemain sepakbola mewakili Fakultas Syari’ah dalam salah satu turnamen sepakbola antar fakultas di IAIN Ar-Raniry. Sebelum pertandingan pertama yang harus kami lakukan, karena kami tidak memiliki pelatih yang definitif maka waktu itu kapten tim yang bertindak untuk memberikan pengarahan. Dia mengatakan kalau pertandingan ini sangat menentukan, kita berharap dapat memenangkan pertandingan pembuka ini agar memudahkan jalan untuk lolos ke babak selanjutnya. Lalu dia menambahkan “otomatis, kita semua main seperti biasa”. Tentunya saya sebagai pemain baru dalam tim bingung dengan pernyataan tersebut. Mungkin bagi yang sudah lama bermain di tim itu mengerti apa maksud kapten kami.

Saya bertanya-tanya dalam hati mungkinkah yang dimaksudkan oleh kapten tersebut agar kami main bola-bola pendek dengan sentuhan satu dua nan cepat ala Samba Brazil ataukah mengandalkan umpan-umpan panjang mengarah ke jantung pertahanan lawan layaknya kick and rush ala Inggeris? Untuk memastikan hal tersebut saya kemudian bertanya, bagaimana sebenarnya pola permainan kita? Seperti apakah maksud agar bermain seperti biasa? Lalu kapten kami menjawab, “tenang saja, nanti juga secara otomatis tahu bagaimana kita main seperti biasa”. Walaupun dengan instruksi yang serba tidak jelas, kami akhirnya terus bermain sampai akhirnya terbiasa dengan pola yang tidak jelas pula. Maklumlah namanya juga bukan pemain sepakbola profesional. Dalam konteks ini, kata otomatis tentunya tidaklah membawa dampak yang buruk bagi hajat hidup orang banyak. Paling-paling hanya kekalahan yang kami terima dalam pertandingan tersebut, kalah dalam bermain bola bukan berarti kuliah tidak lulus. Tidak apa-apa karena bagi kami sepakbola hanyalah sekedar hobi, lain halnya jika mau melakukan pembangunan di suatu daerah, tentunya tidak bisa dilakukan secara otomatis tanpa perancangan yang matang.       

Pemerintahan Otomatis

Kata otomatis juga mengingatkan saya pada blog yang ditulis oleh mantan Perdana Menteri Malaysia Tun Mahathir Mohamad pada 29 Desember 2008. Beliau menulis bahwa dia baru kembali dari Yaman pada 25 Desember di mana semua kantor tutup karena Hari Natal. Keesokan harinya ketika pergi ke Kuala Lumpur, ia mendapati kota itu lengang tidak ramai dan sibuk seperti biasanya. Kemudian ia menyadari bahwa waktu itu banyak orang termasuk pegawai negeri telah mengambil cuti pada hari Jum’at agar bisa menikmati libur panjang termasuk Sabtu dan Minggu, lebih-lebih lagi hari Senin juga ternyata adalah Tahun Baru Islam yang secara otomatis juga menjadi hari libur. Total libur yang lima hari itu bisa kita manfaatkan untuk keliling dunia.

Kemudian beliau menambahkan, karena tanggal 1 Januari juga berarti hari libur, maka para pekerja baik di sektor pemerintah atau swasta setelah hari Senin bisa mengambil cuti dua hari lagi. Kalau pekerja tersebut pintar dalam mengatur pengambilan cuti, setidaknya ia bisa mengambil cuti selama delapan hari. Namun bagaimana halnya dengan berbagai perkerjaan yang harus diselesaikan? Tidak usah khawatir, tulis Tun Mahathir. Selama waktu delapan hari tersebut pemerintahan dan sektor swasta akan berjalan secara otomatis. Pesawat saja menggunakan sistem auto-pilot atau pilot otomatis yang meringankan tugas pilot sampai 80%. Begitu juga halnya dengan pekerjaan kita, tulis beliau lebih lanjut.

Beliau lalu menyimpulkan bahwa hal ini menunjukkan kita sebenarnya tidak memerlukan pemerintah. Semua akan berjalan lancar tanpa perlu seorang pemimpin untuk memerintah. Demikian canggihnya manusia dalam menjalankan pemerintahan.

Sebenarnya apa yang ditulis oleh Tun Mahathir itu adalah sebuah sindiran tajam terhadap pemerintah Malaysia waktu itu, di mana pemerintah gagal dalam meningkatkan kesejahteraan terhadap rakyat. Pemerintah seolah-olah membiarkan rakyat terombang ambing secara otomatis tanpa ada sebuah upaya yang maksimal untuk menangani berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat.

Melihat kondisi Aceh saat ini, saya bertanya-tanya bagaimana kondisi sebenarnya pemerintahan di Aceh? Apakah pemerintah kita berjalan secara otomatis, di mana siapapun yang menjadi Gubernur, Bupati, dan Camat, hal ini tidak berdampak apa-apa bagi masyarakat? Apakah masyarakat masih terus dibiarkan berjuang sendiri tanpa adanya kepedulian pemerintah dalam bentuk program-program peningkatan ekonomi dan kesejahteraan serta terpenuhinya kebutuhan hidup yang paling mendasar? Apakah rakyat hanya akan terus disuguhkan data-data keberhasilan oleh pemerintah padahal dalam realitasnya kondisi kehidupan masyarakat di pedesaan dan pedalaman semakin susah?  Apakah masyarakat hanya dapat membaca saja dan menanyakan ke mana uang yang berjumlah triliunan rupiah yang dianggarkan dalam  APBA setiap tahun mengalir tanpa bisa merasakan dampak nyata dari anggaran pembangunan tersebut?

Tentunya kita berharap semoga pemerintahan di Aceh belum berjalan secara otomatis. Semoga pemimpin kita masih ada untuk memimpin dan menunjukkan jalan kepada kita, masih peka terhadap segala persoalan yang kita hadapi sehari-hari. Mudah-mudahan pemimpin kita bersungguh-sungguh dalam menyatukan semua potensi yang ada dan tidak alergi terhadap segala kritikan, lebih-lebih lagi kritikan yang konstruktif untuk menghindari terjadinya pemerintahan otomatis. Semoga Aceh kita menjadi lebih baik.

Artikel ini dimuat di www.acehinstitute.org pada hari Selasa, 26 Januari 2010.




No comments:

Post a Comment