Wednesday, January 6, 2010

Bayt al-Asy: Rumah Wakaf Aceh di Tanah Suci (1)

Ditulis oleh Tgk H Anwar Fuadi Salam.

Available at: http://bwi.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=539%3Amenelusuri-bayt-al-asy-di-tanah-suci-bagian-1-&catid=27%3Aopini&lang=in




Para jamaah haji Aceh tempo dulu mewakafkan puluhan rumah untuk kepentingan masyarakat Aceh yang menunaikan jamaah haji di Makkah. Kini rumah-rumah tersebut kurang jelas nasibnya, sebagian sudah beralih hak menjadi milik pribadi, sebagian lagi masih ada, tetapi kurang terawat. Untuk mengetahui lebih jauh, saya akan menulis sesuatu yang terkait dengan Harta Wakaf Aceh sepanjang pengetahuan dan pengalaman saya selama lebih kurang enam belas tahun berdomisili di Makkah Al-Mukarramah. Ketika saya melakukan penelitian, permasalahan yang timbul adalah pengelola dan pengelolaan Rumah Wakaf Aceh di sana sangat sulit untuk diajak berbicara. Apabila didesak untuk berbicara, mereka dengan mudah mengatakan bahwa wakaf tersebut adalah wakaf khusus keturunan mereka, yang mereka kelola sejak dari nenek moyangnya.


Yang demikian itulah yang membuat permasalahan wakaf tersebut tertutup rapi dari generasi ke generasi. Berdasarkan hasil penelitian dan kajian penulis, memang sebahagian dari pada Wakaf Aceh itu adalah wakaf khusus keturunan mereka, tetapi sebahagian besar lainnya adalah Wakaf Umum untuk masyaraka Aceh, terutama bagi masyarakat Aceh yang menunaikan Ibadah Haji, atau pelajar yang menutut Ilmu. Tetapi, dikarenakan pengelolaan kedua bentuk wakaf tersebut dilaksanakan dengan rangkap oleh seorang nazir secara turun temurun, dengan sistim menejemen keluarga yang tertutup, maka dalam pengelolaannya mereka selalu mencampurbaurkan kedua jenis wakaf tersebut.

Dengan tekun penuh perhatian dan gembira mana kala kita mendengar cerita-cerita dari kakek dan nenek kita yang telah menunaikan Ibadah Haji. Ceritanya sangat menarik untuk disimak karena pada masa itu melaksanakan Ibadah haji tidak sesingkat sekarang ini. Perjalanan Haji yang mereka laksanakan memakan waktu sekurang-kurangnya enam bulan. Sebahagian dari mereka ada yang harus menetap sambil menunggu adanya pelayaran yang akan mengangkut mereka kembali, hingga dua tahun lamanya. Pada umumnya mereka bercerita tentang pelaksanaan haji itu, dan tempat-tempat bersejarah yang mereka ziarahi, atau berceritakan tentang kota-kota yang mereka singgahi selama perjalanan haji tersebut.

Biasanya, mereka berbicara tentang Kota Suci Makkah. Ketika di sana, para jamaah banyak meluangkan waktu bersama Syekh-syekh (tuan rumah)yang sebahagian besar merangkap Nazir Rumah Wakaf. Para Syekh tersebut berusaha berbuat yang terbaik dalam pelayanan Jemaah Haji yang mereka tampung, waktu dan fikiran mereka hibahkan guna melayani dan mempelajari seluk beluk pelayanan serta segala sesautu yang menyangkut kesempurnaan Ibadah para tamu Allah yang menunaikan Ibadah haji. Itulah menjadi tolok ukur keberhasilan mereka dan suatu promosi bagi calon jemaah yang akan mengunjungi mereka pada tahun-tahun berikutnya.

Ketergantungan perekonomian dan pendapatan Syeh pada Jemaah haji yang akan mengunjunginya sangat besar. Dalam konteks ini, Syekh yang akan melayani segala kebutuhan Jemaah Haji adalah Syekh dalam makna yang sebenarnya yaitu “mutawwif”, benar-benar mengerti dan faham Syariat Islam serta seluk beluk perjalanan Haji tersebut. Mereka selalu berusaha menyampaikan amanah dan hak bagi pemiliknya.  Karena itu, pada merekalah para Jemaah Haji bertanya tentang apa saja permasalahan yang tidak mereka ketahui. Semua Jemaah Haji menghormati dan menyayangi mereka, dan para Jemaah Haji menganggap Syeh itu seorang Alim Ulama Assyafii, sebagai mana kita ketahui sebahagian besar para Jemaah Haji yang berasal dari Aceh penganut faham Syafiiyah.

Segala ketulusan dan kesenangan diberikan oleh Jemaah haji kepada Syeh. Banyak jemaah haji pada waktu itu yang tergolong kaya. Diantara mereka terdapat Sultan dan keturunannya, ataupun para bangsawan. Dengan rasa senang hati mereka mewakafkan hartanya, dan banyak Jemaah Haji menghibah kepada Syekh apapun yang masih tersisa dari harta dan perbekalan selama mereka berhaji. Maka tumbuhlah disana-sini di sekitar Masjidil Haram rumah Wakaf Aceh yang dikenal dengan sebutan Auqaf Ashy, Bait Ashy, atau Daar Ashy, (Rumah Aceh).

Misalnya, salah satu ringkasan yang telah saya terjemahkan dari sertifikat harta Wakaf Haji Habib Bugag (ada yang menyebut “Bugak”) Aceh, yang dikeluarkan oleh Maulana Hakim Makkah Almukarramah. “Yang kita muliakan Haji Habib Bugag Aceh, dengan leluasa dan ikhlas telah mempersembahkan untuk dirinya yang akan bermamfaat bagi hartanya. Semata-mata mengharap keridhaan Allah, serta menantikan pahala yang besar pada hari pembalasan Allah bagi orang- orang yang telah bersedekah. Allah tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat kebaikan, kita bersandar pada pengamalan sabda Rasulullah SAW, ‘Apabaila anak cucu Adam meninggal dunia, putuslah segala amal kebaikannya kecuali tiga perkara, Sedekah Jariah, Ilmu yang bermamfaat, dan anak Saleh yang selalu berdo'a kepada orang tuanya’. Wakaf adalah salah satu dari sedekah jariah.”

Telah datang menghadap, yang kita muliakan Haji Habib Bugag Aceh, telah mewakafkan dan menahan hartanya menjadi sedekah jariah, serta membelanjakan hartanya di jalan Allah. Wakaf itu berupa sebentang tanah di kawasan Qasyassyah di Makkah Almukarramah. (Bersambung…)

No comments:

Post a Comment